1. Sumber Nilai Islam
Ketika
rasulullah saw mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman beliau bertanya
kepada Mu’adz, “Dengan pedoman apa anda memutuskan suatu urusan?”. Jawab
Mu’adz : Dengan Kitabullah. Tanya Rasul : Kalau tidak ada dalam
al-Qur’an? Jawab Mu’adz : Dengan Sunnah Rasulullah. Tanya Rasul : Kalau
dalam Sunnah juga tidak ada? Jawab Mu’adz L Saya berijtihad dengan
pikiran saya. Sabda Rasul : Maha Suci Allah yang telah memberikan
bimbingan kepada utusan Rasul-Nya, dengan satu sikap yang disetujui
Rasul-Nya. (HR. Abu Dawud dan Turmudzi)
Yang
perlu dicatat adalah bahwa sekalipun ketiga-tiganya adalah sumber
nilai, akan tetapi antara satu dengan yang lainnya mempunyai tingkatan
kualitas dan bobot yang berbeda-beda dengan pengaruh hukum yang
berbeda-beda pula. Apabila ada yang bertentanga satu dengan yang lain,
maka hendaknya dipilih Al-Qur’an terlebih dahulu kemudian yang kedua
al-Hadits.
1.A. Al-Qur’an1.a.i. Kehujjahan Al-Qur’an
Al-Qur’an
adalah hujjah atas umat manusia dan hukum-hukumnya harus ditaati.
Alasannya, Al-Qur’an datang dari Allah kepada manusia melalui jalan yang
pasti, tidak terdapat keraguan mengenai kebenarannya
(keontentikannya). Adapun alasan bahwa ia dari sisi Allah adalah berupa
kemu’jizatannya.
Aspek-aspek kemukjizatan al-Qur’an :· Tantangan Al-Qur’an yang tidak sanggup dijawab
“Dan
jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Qur’an yang Kami Wahyukan
kepada Hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surah (saja) yang semisal
al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu
orang-orang yang benar. Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) dan
pasti kamu tidak dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang
bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang
kafir.” (QS. Al-Baqarah 2:23-24)
“Katakanlah,
“Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa
al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa
dengan dia, sekali-pun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian
yang lain.” (QS. Al-Isra’ 17:88)
Al-Qur’an
adalah kitab yang mengandung bermacam-macam ilmu dan hikmah yang
sangat dalam dan sempurna (yang membuktikan bahwa ilmu dan hikmah itu
mustahil bersumber dari selain Allah) yang disajikan dalam bentuk
balagah yang mencapai tingkat tinggi dan tidak ada bandingannya. (
balagah = bentuk-bentuk makna yang hidup dalam untaian kata-kata yang
terjalin kokoh dan retorika yang menarik ).
Perpaduan antara kesempurnaan isi dan penyajian inilah yang mustahil untuk bisa dibuat tandingannya.
· Keharmonisan uslub bahasanya, maknanya, hukumnya dan teorinya
Mampukah manusia membuat suatu UUD yang sempurna yang disajikan dalam bentuk puisi dan prosa yang indah ?
· Persesuaian teori-teorinya dengan apa yang telah disingkap oleh ilmu pengetahuan
“Dia
menjadikan kamu dalam perut ibumi kejadian demi kejadian dalam tiga
kegelapan. Yang (Berbuat) demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan
yang Mempunyai Kera-jaan. Tidak ada Tuhan selain Dia; maka bagaimana amu
dapat dipalingkan?” (QS. Az-Zumar 39:6)
Ilmu pengetahuan
akhirnya mengetahui bahwa tiga kegelapan itu adalah kegelapan dalam
perut, kegelapan dalam rahim dan kegelapan dalam selaput yang menutup
anak dalam rahim.
“Dan
barang siapa yang Dikehendaki Allah Kesesatannya, niscaya Allah
Menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke
langit. Begitulah Allah Menimpakan Siksa kepada orang-orang yang tidak
beriman.” (QS. Al An’am 6:125)
Ilmu
pengetahuan mengetahui bahwa semakin menembus keatas langit maka
oksigen akan semakin berkurang dan akhirnya habis yang menyebabkan
makhluk hidup akan terasa tercekik.
“Dan
sesungguhnya Kami telah Menciptakan manusia dari suatu sari pati
(berasal) dari tanah. Kemudian Kami Jadikan sari pati itu air mani (yang
tersimpan) dalam tempat yang kukuh (rahim). Kemudian air mani itu Kami
Jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami Jadikan segumpal
daging dan segumpal daging itu Kami Jadikan tulang-belulang, lalu
tulang belulang itu Kami Bungkus dengan dagung. Kemudian Kami Jadikan
dia makhuk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta
yang Paling Baik.” (QS. Al-Mu’minun 23:12-14)
“Dan segala sesuatu Kami Ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan Kebesaran Allah” (QS. Adz Dzariyat 51:49)
“Kemudian
Dia Menuju langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia
Berkata kepadanya dan kepada bumi, “Datanglah kamu keduanya menurut
Perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.” Keduanya menjawab, “Kami
datang dengan suka hati.” (QS. Fushshilat 41:12)
Jika
kita meyakini kebenaran dan kesesuaian teori-teori Al-Qur’an dengan
ilmu pengetahuan maka sudah selayaknya juga kita meyakini akan kebenaran
dan kesesuaian hukum-hukum Al-Qur’an untuk diterapkan dalam masyarakat
muslim.
· Memberitakan
hal-hal kejadian yang tidak diketahui manusia sebelumnya. Ayat-ayat
yang berhubungan dengan ramalan-ramalan khusus yang kemudian dibuktikan
oleh sejarah seperti tentang bangsa Romawi, berpecah-belahnya Kristen
dll juga menjadi bukti lagi kepada kita bahwa Al-Qur’an adalah wahyu
Allah SWT
“Telah
dikalahkan bangsa Romawi, di negeri yang terdekat dan mereka sesudah
dikalahkan itu akan menang, dalam beberapa tahun (lagi). Bagi Allah-lah
Urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan di hari (kemenangan
bangsa Romawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman.” (QS. Ar-Rum
30:2-4)
“Dan
di antara orang-orang yang mengatakan, “Sesungguh-nya kami ini
orang-orang Nasrani”, ada yang telah Kami Ambil Perjanjian mereka,
tetapi mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah
diberi peringatan dengannya; maka Kami Timbulkan di antara mereka
Permu-suhan dan Kebencian sampai hari kiamat.” (QS. Al-Maidah 5:14)
1.a.ii. Al-Qur’an bukan perkataan Muhammad SAW.Sebagian manusia ada yang ingkar terhadap wahyu :
1.
Mereka mengira bahwa Qur’an dari pribadi Muhammad; dengan menciptakan
maknanya dan dia sendiri pula yang menyusun “bentuk gaya bahasanya”;
Qur’an bukanlah wahyu. Ini adalah sangkaan yang batil. Apabila
Rasulullah saw. menghendaki kekuasaan untuk dirinya sendiri dan
menantang manusia dengan mukjizat-mukjizat untuk mendukung kekuasaannya,
tidak perlu ia menisbahkan semua itu kepada pihak lain. Dapat saja
menisbahkan Qur’an kepada dirinya sendiri, karena hal ini cukup untuk
mengangkat kedudukannya, sebab kenyataannya semua orang Arab dengan
segala kefasihannya tidak juga mampu menjawab tantangan itu.
Sangkaan
ini menggambarkan bahwa Rasulullah saw termasuk pemimpin yang menempuh
cara-cara berdusta untuk mencapai tujuan. Sangkaan itu ditolak oleh
kenyataan sejarah tentang perilaku Rasulullah saw. dan kejujurannya.
Orang-orang
munafik menuduh istrinya Aisyah dengan tuduhan berita bohong, padahal
Aisyah seorang istri yang sangat dicintainya. Sedang wahyupun datang
terlambat. Keadaan berlangsung secara demikian hingga turunlah wahyu
yang menyatakan kebersihan istrinya itu. Maka apakah yang mengalanginya
untuk mengatakan kata-kata yang dapat mematahkan para penuduh itu dan
melindungi kehormatannya, seandainya Qur’an kata-katanya sendiri.
Ada
segolongan orang meminta izin untuk tidak ikut berperang di Tabuk.
Mereka mengajukan alasan. Di antara mereka terdapat orang-orang munafik
yang sengaja mencari-cari alasan. Nabi mengizinkan mereka. Maka
turunlah Qur’an mencela dan mempersalahkan tindakannya itu.
(QS.
9:43) Seandainya teguran ini datang dari perasaannya sendiri dengan
menyatakan penyesalannya ketika ternyata pendapatnya itu salah, tentulah
teguran yang begitu keras itu tidak akan diungkapkannya. Begitu pula
teguran kepadanya karena ia menerima tebusan tawanan perang Badar. (QS.
8:67-68). Begitu juga adanya teguran karena berpaling dari ‘Abdullah
bin Umm Maktum ra yang buta, karena menekuni salah seorang pembesar
Quraisy untuk diajak masuk Islam. (QS. 80)
2.
Orang-orang Jahiliah, dahulu dan sekarang, menyangka bahwa Rasulullah
saw. mempunyai ketajaman otak, sehingga memahami ukuran-ukuran yang
baik dan yang buruk, benar dan salah melalui ilham, sehingga Qur’an
tidak lain daripada hasil penalaran intelektual dan pemahaman yang
diungkapkan oleh Muhammad dengan gaya bahasa dan retorikanya.
Al-Qur’an
telah menyebutkan berita-berita tentang umat terdahulu,
golongan-golongan dan peristiwa-peristiwa sejarah dengan
kejadian-kejadiannya yang benar dan cermat, sekalipun masa yang dilalui
oleh sejarah itu sudah amat jauh, bahkan sampai pada kejadian pertama
alam semesta ini. Sedang Muhammad sendiri tidak semasa dengan umat-umat
dan peristiwa-peristiwa di atas dengan segala macam kurun waktunya
sehingga beliau dapat menyaksikan kejadian-kejadian itu dan menyampaikan
beritanya. Demikian pula beliau tidak mewarisi kitab-kitabnya untuk
dipelajari secara terinci dan kemudian menyampaikan beritanya.
Adapun
ilmu-ilmu lain yang ada didalamnya, bagian akaid saja mengandung
perkara-perkara yang begitu terinci tentang permulaan makhluk dan
kesudahannya, kehidupan akhirat dan apa yang ada di dalamnya seperti
surga dengan segala kenikmatannya, neraka dengan segala azabnya dan lain
sebagainya, seperti malaikat dengan segala sifat dan pekerjaannya.
Pengetahuan ini semuanya tidaklah memberikan tempat bagi kecerdasan akal
dan kekuatan firasat semata.
3.
Orang-orang jahiliyah menyangka bahwa Muhammad telah menerima
ilmu-ilmu Qur’an dari seorang guru. Muhammad saw. tumbuh dan hidup
dalam keadaan buta huruf dan tak seorang pun di antara mereka yang
membawa symbol ilmu dan pengajaran. Ini adalah kenyataan yang
disaksikan oleh sejarah. (QS. 16:103)
1.a.iii. Sejarah Kodifikasi Al-Qur’anPengumpulan Qur’an dalam Arti Penulisannya pada Masa Nabi
Rasulullah
telah mengangkat para penulis wahyu Qur’an dari sahabat-sahabat
terkemuka, seperti Ali, Mu’awiyah, ‘Ubai bin Ka’b dan Zaid bin Sabit.
Bila ayat turun, ia memerintahkan mereka menuliskannya dan menunjukkan
tempat ayat tersebut dalam surah, sehingga penulisan pada lembaran itu
membantu penghafalan di dalam hati.
Di
samping itu sebagian sahabat pun menuliskan Qur’an yang turun itu atas
kemauan mereka sendiri, tanpa diperintah oleh Nabi; mereka
menuliskannya pada pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit
dan daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang.
Tulisan-tulisan
Qur’an pada masa Nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf; yang ada pada
seseorang belum tentu dimiliki oleh yang lain.
Rasulullah
berpulang ke rahmatullah di saat Qur’an telah dihafal dan tertulis
dalam mushaf dengan susunan seperti disebutkan di atas; ayat-ayat dan
surah-surah dipisah-pisahkan, atau ditertibkan ayat-ayatnya saja dan
setiap surah berada dalam satu lembaran secara terpisah dan dalam tujuh
huruf, tetapi Qur’an belum dikumpulkan dalam satu mushaf yang
menyeluruh (lengkap).
Belum
dibukukannya dalam satu mushaf, sebab Nabi masih selalu menanti
turunnya wahyu dari waktu ke waktu. Di samping itu terkadang pula
terdapat ayat yang me-nasikh (menghapuskan) sesuatu yang turun
sebelumnya.
Pengumpulan Qur’an di masa Nabi ini dinamakan : a) penghafalan; dan b) pembukuan yang pertama.
Pengumpulan Qur’an pada Masa Abu Bakar
Zaid
bin Sabit memulai tugasnya ini dengan bersandar pada hafalan yang ada
dalam hati para qurra dan catatan yang ada pada para penulis. Kemudian
lembaran-lembaran (kumpulan) itu disimpan di tangan Abu Bakar. Setelah
ia wafat, lembaran-lembaran itu berpindah ke tangan Umar dan tetap
berada di tangannya hingga ia wafat. Kemudian mushaf itu berpindah ke
tangan Hafsah, putrid Umar. Pada permulaan kekhalifahan Usman, Usman
memintanya dari tangan Hafsah.
Zaid
bin Sabit bertindak sangat teliti. Ia tidak mencukupkan pada hafalam
semata tanpa disertai dengan tulisan. Zaid tidak mau menerima dari
seseorang mengenai Qur’an sebelum disaksiakn oleh dua orang saksi. Ini
menunjukkan bahwa Zaid tidak merasa puas hanya dengan adanya tulisan
semata sebelum tulisan itu disaksikan oleh orang yang menerimanya secara
pendengaran (langsung dari Rasul), sekalipun Zaid sendiri hafal. Ia
bersikap demikian ini karena sangat berhati-hati.
Abu
Bakar adalah orang pertama yang mengumpulkan Qur’an dalam satu mushaf
dengan cara seperti ini, di samping terdapat juga mushaf-mushaf pribadi
pada sebagian sahabat, seperti mushaf Ali, mushaf Ubai dan mushaf Ibn
Mas’ud. Tetapi mushaf-mushaf itu tidak ditulis dengan cara seperti di
atas dan tidak pula dikerjakan dengan penuh ketelitian dan kecermatan,
juga tidak dihimpun secara tertib yang hanya memuat ayat-ayat yang
bacaannya tidak dimansukh dan secara ijma’ sebagaimana mushaf Abu Bakar.
Pengumpulan ini dinamakan pengumpulan kedua. Pengumpulan Qur’an pada Masa Usman
Penyebaran
Islam bertambah luas dan para qurra pun tersebat di pelbagai wilayah,
dan penduduk di setiap wilayah itu mempelajari qira’at (bacaan) dari
qari yang dikirim kepada mereka. Cara-cara pembacaan (qira’at) Qur’an
yang mereka bawakan berbeda-beda sejalan dengan perbedaan “huruf” yang
dengannya Qur’an diturunkan. Apabila mereka berkumpul di suatu pertemuan
atau di suatu medan peperangan, sebagian mereka merasa heran akan
adanya perbedaan qira’at ini. Terkadang sebagian dari mereka merasa puas
karena mengetahui bahwa perbedaan itu semuanya disandarkan kepada
Rasulullah. Tetapi keadaan demikian bukan berarti tidak akan menyusupkan
keraguan kepada generasi baru yang tidak melihat Rasulullah.
Dari
Anas: “Bahwa Huzaifah bin al-Yaman datang kepada Usman. Ia pernah ikut
berperang melawan penduduk Syam bagian Armenia dan Azarbaijan bersama
dengan penduduk Irak. Huzaifah amat terkejut oleh perbedaan mereka
dalam bacaan. Lalu ia berkata kepada Usman: ‘Selamatkanlah umat ini
sebelum mereka terlibat dalam perselisihan (dalam masalah Kitab)
sebagaimana perselisihan orang-orang Yahudi dan Nasrani.’
Usman
kemudian mengirim surat kepada Hafsah yang isinya: ‘Sudilah kiranya
Anda kirimkan kepada kami lembaran-lembaran yang bertuliskan Qur’an itu,
kami akan menyalinnya menjadi beberapa mushaf, setelah itu kami akan
mengembalikannya.’ Hafsah mengirimkannya kepada Usman, dan Usman
memerintahkan Zaid bin Sabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘As dan
Abdurrahman bin Haris bin Hisyam untuk menyalinnya.
Mereka
pun menyalinnya menjadi beberapa mushaf. Usman berkata kepada ketiga
orang Quraisy itu: ‘Bila kamu berselisih pendapat dengan Zaid bin Sabit
tentang sesuatu dari Qur’an, maka tulislah dengan logat Quraisy, karena
Qur’an diturunkan dalam habasa Quraisy.’ Mereka melaksanakan perintah
itu. Setelah mereka selesai menyalinnya menjadi beberapa mushaf, Usman
mengembalikan lembaran-lembaran asli itu kepada Hafsah. Selanjutnya
Usman mengirimkan kesetiap wilayah mushaf baru tersebut dan
memerintahkan agar semua Qur’an atau mushaf lainnya dibakar.
Ditahannya satu mushaf untuk di Madinah, yaitu mushafnya sendiri yang kemudian dikenal dengan nama “Mushaf Imam”.
Umat
pun menerima perintah itu dengan patuh, sedang qiraat dengan enam
huruf lainnya ditinggalkan. Keputusan ini tidak salah, sebab qiraat
dengan tujuh huruf itu tidak wajib. Seandainya Rasulullah mewajibkan
qiraat dengan tujuh huruf itu semua, tentu setiap huruf harus
disampaikan secara mutawatir sehingga menjadi hujjah. Tetapi mereka
tidak melakukannya. Ini menunjukkan bahwa qiraat dengan tujuh huruf itu
termasuk dalam kategori keringanan. Dan bahwa yang wajib ialah
menyampaikan sebagian dari ketujuh huruf tersebut secara mutawatir.
Tidak ada lagi qiraat dengan enam huruf lainnya.
Apabila
sebagian orang yang lemah pengetahuan berkata: Bagaimana mereka boleh
meninggalkan qiraat yang telah dibacakan oleh Rasulullah dan
diperintahkan pula membaca dengan cara itu? Maka jawabnya ialah:
Sesungguhnya perintah Rasulullah kepada mereka untuk membacanya itu
bukanlah perintah yang menunjukkan wajib dan fardu, tetapi menunjukkan
kebolehan dan keringanan (rukhsah).
Perbedaan antara Pengumpulan Abu Bakar dengan Usman
Motif
Abu Bakar adalah kekhawatiran beliau akan hilangnya Qur’an karena
banyaknya para huffaz yang gugur dalam peeprangan yang banyak menelan
korban dari para qari. Sedang motif Usman untuk mengumpulkan Qur’an
adalah karena banyaknya perbedaan dalam cara-cara membaca Qur’an yang
disaksikannya sendiri di daerah-daerah dan mereka saling menyalahkan
satu terhadap yang lain.
Alasan
Usman dalam membatasi hanya pada bahasa Quraisy saja dengan alasan
bahwa Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka (Quraisy), sekalipun pada
mulanya memang diizinkan membacanya dengan bahasa selain Quraisy guna
menghindari kesulitan.
Pengumpulan Qur’an oleh Usman ini disebut dengan pengumpulan ketiga.
1.a.iv. Tertib Qur’an
Tertib
atau urutan ayat-ayat Qur’an ini adalah tauqifi, ketentuan dari
Rasulullah. Sebagian ulama meriwayatkan bahwa pendapat ini adalah ijma’.
Jibril
menurunkan beberapa ayat kepada Rasulullah dan menunjukkan kepadanya
tempat di mana ayat-ayat itu harus diletakkan dalam surah atau ayat-ayat
yang turun sebelumnya. Lalu Rasulullah memerintahkan kepada para
penulis wahyu untuk menuliskannya di tempat tersebut.
Jibril
senantiasa mengulangi dan memeriksa Qur’an yang telah disampaikannya
kepada Rasulullah sekali setiap tahun, pada bulan Ramadhan dan pada
tahun terakhir kehidupannya sebanyak dua kali. Dan pengulangan Jibril
terakhir ini seperti tertib yang dikenal sekarang ini.
1.a.v. Ilmu-ilmu yang membahas Al-Qur’an (Perangkat menuju istimbatah)
a. Ilmu Mawathin Nuzul, yaitu ilmu yang membahas tentang tempat-tempat turunnya ayat Al-Qur’an
Faedah mengetahui ilmu Mawathin Nuzul :
1.
Alat bantu untuk menafsir Al-Qur’an, sekalipun yang menjadi pegangan
adalah pengertian umum lafadz bukan sebab yang khusus. Dengan ilmu ini
dapat dibedakan antara ayat yang nasikh dengan yang mansukh bila di
antara kedua ayat terdapat makna yang kontradiktif. Yang datang kemudian
tentu merupakan nasikh atas yang terdahulu.
2.
Meresapi gaya bahasa Al-Qur’an dan memanfaatkannya dalam metode
berdakwah menuju jalan Allah. Gaya bahasa Makki dan Madani memiliki
karakteristik yang berbeda sesuai dengan kejiwaan awan berbicara dan
tingkat keimanan
3. Mengetahui sejarah hidup Nabi
b. Ilmu Asbabun Nuzul, yaitu ilmu yang membahas sebab-sebab turunnya ayat Al-Qur’an
Perlunya mengetahui Asbabun Nuzul :
1. Mengetahui hikmah diundangkannya suatu hukum dan perhatian syara’ terhadap kepentingan umum dalam menghadapi segala peritiwa
2.
Dalam dunia pendidikan, tahap pendahuluan bertujuan membangkitkan
perhatian dan menarik minat, juga bertujuan memberikan konsepsi
menyeluruh mengenai tema pelajaran. Dan pengetahuan tentang asbabun
nuzul merupakan media paling baik untuk mewujudkan tujuan-tujuan
pendidikan di atas dalam mempelajari al-Qur’anul Karim baik bacaan
maupun tafsir.
Anak didik dapat segera memahami pelajaran itu
secara umum dengan mengetahui asbabun nuzul karena di dalamnya terdapat
unsur-unsur kisah yang menarik. Dengan demikian, jiwa mereka terdorong
untuk mengetahui ayat apa yang diturunkan sesuai dengan sebab nuzul itu
serta rahasia-rahasia perundangan dan hukum-hukum yang terkandung di
dalam-nya, yang kesemua ini memberi petunjuk kepada manusia.
3.
Mengetahui sebab nuzul adalah cara terbaik untuk memahami makna Qur’an
dan menyingkap kesamaran yang tersembunyi dalam ayat-ayat yang tidak
dapat ditafsirkan tanpa mengetahui sebab nuzulnya.
4.
Sebab nuzul dapat menerangkan tentang siapa ayat itu diturunkan
sehingga ayat tersebut tidak diterapkan kepada orang lain karena
dorongan permusuhan dan perselisihan.
Terkadang terdapat banyak
riwayat mengenai sebab nuzul suatu ayat. Bila sebab nuzul itu banyak,
maka terkadang semuanya tidak tegas, terkadang pula semuanya tegas dan
terkadang sebagiannya tidak tegas sedang sebagian lainnya tegas dalam
menunjukkan sebab.
-
Apabila semuanya tidak tegas dalam menunjukkan sebab, maka tidak ada
salahnya untuk membawanya kepada atau dipandang sebagai tafsir dan
kandungan ayat
- Apabila sebagian tidak tegas dan sebagian lain tegas maka yang menjadi pegangan adalah yang tegas
-
Apabila semuanya tegas, maka tidak terlepas dari kemungkinan bahwa
salah satunya shahih atau semuanya shahih. Apabila salah satunya sahih
sedang yang lain tidak, maka yang sahih itulah yang menjadi pegangan
-
Apabila semuanya sahih, maka dilakukan pentarjihan bila mungkin.
Dicoba dicari segi yang memperkuat salah satunya, seperti kehadiran
perawi dalam kisah tersebut, atau salah satu dari riwayat-riwayat itu
lebih sahih, maka riwayat yang lebih kuat itulah yang didahulukan.
- Apabila tidak mungkin dengan pilihan tersebut, maka dipadukan bila mungkin
- Bila tidak mungkin dipadukan, maka dipandanglah ayat itu diturunkan beberapa kali dan berulang.
c. Ilmu Tajwid, yaitu ilmu yang membahas tentang teknik membaca Al-Qur’an
d. Gharibil Qur’an, yaitu ilmu yang membahas tentang kalimat-kalimat yang asing artinya dalam Al-Qur’an
e.
Ilmu Wajuh wa nadhar, yaitu ilmu yang membahas tentang kalimat yang
mempunyai banyak arti dan makna apa yang dikehendaki oleh sesuatu ayat
dalam Al-Qur’an
f. Ilmu Nasikh dan Mansukh
Naskh
ialah mengangkat (menghapus) hukum syara’ dengan dalil hukum (khitab)
syara’ yang lain. Mansukh adalah hukum yang diangkat atau dihapuskan.
Naskh
itu adakalanya dengan badal (pengganti) dan ada pula yang tanpa badal.
Naskh dengan badal terkadang badalnya itu lebih ringan (akhaff),
sebanding (mumasil) dan terkadang pula lebih berat (asqal).
1) Naskh tanpa badal : al-Mujadalah [58]:12 dinasakh al-Mujadalah [58]:!3
2) Naskh dengan badal akhaff : al-Baqarah [2]:183 dinasakh al-Baqarah [2]:187
3) Naskh dengan badal mumasil. Al-Baqarah [2]:144
4) Naskh dengan badal asqal. An-Nisa [4]:15 dengan an-Nur [24]:2.
g. Ilmu Amtsalil Qur’an yaitu ilmu yang membahas tentang perumpamaan-perumpamaan dalam Al-Qur’an
Faedah mempelajari Amtsalil Qur’an :
Hakikat-hakikat
yang tinggi makna dan tujuannya akan lebih menarik jika dituangkan
dalam kerangka ucapan yang baik dan mendekatkan kepada pemahaman,
melalui analogi dengan sesuatu yang telah diketahui secara yakin.
Tamsil
(membuat permisalan, perumpamaan) merupakan kerangka yang dapat
menampilkan makna-makna dalam bentuk yang hidup dan mantap di dalam
pikiran, dengan cara menyerupakan sesuatu yang gaib dengan yang hadir,
yang abstrak dengan yang konkrit, dan dengan menganalogikan sesuatu
dengan hal yang serupa. Betapa banyak makna yang baik, dijadikan lebih
indah, menarik dan mempesona oleh tamsil. Karena itulah maka tamsil
lebih dapat mendorong jiwa untuk menerima makna yang dimaksudkan dan
membuat akal merasa puas dengannya.
Nabi
juga membuat masal dalam hadisnya. Demikian juga pada da’i yang
menyeru manusia kepada Allah mempergunakannya di setiap masa untuk
menolong kebenaran dan menegakkan hujjah. Para pendidik pun
menggunakannya dan menjadikannya sebagai media untuk menjelaskan dan
membangkitkan semangat, serta sebagai media untuk membujuk dan
melarang, memuji dan mencaci.
h. Ilmu Aqsamil Qur’an, yaitu ilmu yang mempelajari tentang maksud-maksud sumpah Tuhan dalam Al-Qur’an
Kesiapan
jiwa setiap individu dalam menerima kebenaran dan tunduk terhadap
cahaya-Nya itu berbeda-beda. Jiwa yang jernih yang fitrahnya tidak
ternoda kejahatan akan segera menyambut petunjuk dan membukakan pintu
hati bagi sinarnya serta berusaha mengikutinya sekalipun petunjuk itu
sampai kepadanya hanya sepintas kilas.
Sedang
jiwa yang tertutup awan kejahilan dan diliputi gelapnya kebatilan
tidak akan tergoncang hatinya kecuali dengan pukulan peringatan dan
bentuk kalimat yang kuat lagi kokoh, sehingga dengan demikian barulah
tergoncang keingkarannya itu. Qasam (sumpah) dalam pembicaraan, termasuk
salah satu uslub pengukuhan kalimat yang diselingi dengan bukti
konkrit dan dapat menyeret lawan untuk mengakui apa yang diingkarinya.
1.a.vi. Cara mengetahui pelajaran dari Al-Qur’anDalam Al-Qur’an terdapat beberapa macam kedudukan ayat, antara lain :
a.
Ada yang perintahnya jelas, tetapi caranya tidak jelas (mis.
Al-Baqarah:43 : perintah shalat jelas, tetapi caranya tidak disebut)
b.
Ada yang perintahnya jelas, tetapi ukurannya tidak jelas (mis.
Al-Baqarah:43 : Perintah tentang zakat, tetapi ukurannya dan batas
nisabnya tidak diterangkan)
c.
Ada yang tempatnya terang, misalnya tentang menyapu muka dan tangan
dalam tayammum, tetapi batasnya tidak jelas, sampai dimana yang disapu.
Kalau
kita menjumpai ayat-ayat semacam ini, maka perlu sekalu adanya
penjelasan lebih lanjut. Penjelasan itu tidak ada yang berhak
memberikannya, kecuali Nabi saw.
“Dan
Kami Turunkan kepadamu al-Qur’an; agar kamu menerangkan kepada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepadaa mereka dan supaya mereka
memikirkan.”(An Nahl 16:44)
1.b. As-Sunnah1.b.i. Makna hadits / sunnah
Hadits berarti: Segala perbuatan, perkataan dan keizinan Nabi Muhammad saw. (Af’al, Aqwal dan Taqrir)
1.b.ii. Hubungan al-Qur’an dan as-Sunnah
1.
Bayan Tafsir, yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan
musytarak. Seperti hadits: “Shallu kama ra’aitumuni ushalli”.
(Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat) adalah merupakan
tafsiran dari ayat Al-Qur’an yang umum, yaitu
“Aqimush-shalah”.(Kerjakanlah shalat)
2.
Bayan Taqrir, yaitu as-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan
mem-perkuat pernyataan Al-Qur’an. Seperti hadits “Shaumul liru’yatihi
waf-thiru liru’yatihi”(Berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah
karena melihatnya) adalah memperkokoh ayat Al-Qur’an dalam surat 2:185
3.
Bayan Taudhih, yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat
Al-Qur’an, seperti pernyataan Nabi: “Allah tidak mewajibkan zakat
melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati”, adalah
taudhih (penjelasan) terhadap ayat Al-Qur’an 9:34. Pada waktu ayat ini
turun banyak para sahabat yang merasa berat untuk melaksanakan
perintah ini, maka mereka bertanya kepada Nabi yang kemudian dijawab
dengan hadits tsb.
1.b.iii. Perbedaan Al-Quran dan As-Sunnah sebagai sumber hukum :
1. Al-Qur’an nilai kebenarannya adalah qath’i (absolut) sedangkan al-Hadits adalah zhanni (kecuali hadits mutawatir)
2.
Seluruh ayat Al-Qur’an mesti dijadikan sebagai pedoman hidup. Tetapi
tidak semua hadits mesti kita jadikan sebagai pedoman hidup. Sebab
disamping ada sunnah yang tasyri’ ada juga sunnah yang ghairu-tasyri’.
Di samping ada hadits yang shahih ada pula hadits yang dha’if, dst.
3. Al-Qur’an sudah pasti otentik lafazh dan maknanya, sedangkan hadits tidak.
4.
Apabila Al-Qur’an berbicara tentang masalah-masalah aqidah atau
hal-hal yang ghaib maka setiap muslim wajib mengimaninya. Tetapi tidak
demikian apabila masalah-masalah tersebut diungkapkan oleh hadits (ada
yang wajib diimani dan ada yang tidak)
1.b.iv. Fungsi Sunnah1. Menjelaskan maksud ayat-ayat Al-Qur’an
2. Berdiri sendiri di dalam menentukan sebagian daripada beberapa hukum.
“Apa
yang diberikan rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah sangat keras Hukumannya.” (QS. Al Hasyr 59:7)
1.b.v. Pembagian SunnahSunnah dibagi menjadi tiga :
· Sunnah Qauliyah
Yaitu
perkataan Nabi saw. yang menerangkan hukum-hukum agama dan maksud isi
Al-Qur’an serta berisi beradaban, hikmah, ilmu pengetahuan dan juga
menganjurkan akhlak yang mulia. Sunnah qauliyah ini dinamakan juga
hadits Nabi saw.
· Sunnah Fi’liyahYaitu perbuatan Nabi saw yang menerangkan cara melaksanakan ibadat
· Sunnah Taqririyah
Yaitu
bila Nabi saw. mendengar sahabat mengatakan suatu perkataan atau
melihat mereka memperbuat sesuatu perbuatan, lalu ditetapkan dan
dibiarkan oleh Nabi saw. dan tiada ditegur atau dilarangnya, maka yang
demikian dinamai sunnah ketetapan Nabi (taqrir).
SUNNAH QAULIYAH
Sunnah qauliyah boleh dinamakan sunnah, hadits atau khabar.
Pembagian khabar
Khabar itu jika ditinjau dari sudut sanadnya, yaitu banyak atau sedikitnya orang yang meriwayatkan dapat dibagi menjadi dua :
a. Khabar Mutawatir
Mutawatir
ialah khabar yang diriwayatkan oleh banyak orang, tentang sesuatu yang
dipercaya oleh pancainderanya yang menurut adat mereka tidak mungkin
berbuat dusta disebabkan banyaknya jumlah mereka.
Bagian hadits ini tingkatannya hampir disamakan Al-Qur’an.
Khabar mutawatir itu ada dua macam :
1. Mutawatir lafdhi
Ialah mutawatir yang lafadh-lafadh haditsnya sama atau hampir sama.
2. Mutawatir ma’nawi
Ialah
yang didalam kata dan artinya berbeda-beda, tetapi dapat diambil dari
kumpulannya satu ma’na yang umum, yakni satu ma’na dan tujuan.
b. Khabar Ahad
Ialah hadits yang perawi-perawinya tidak mencapai syarat-syarat perawi hadits mutawatir.
Khabar Ahad terdiri atas beberapa bagian, ditinjau dari banyak sedikitnya yang meriwayatkan ialah :
1. Hadits masyhur, yaitu yang diriwayatkan oleh paling sedikit tiga orang, dan tidak sampai kepada derajat mutawatir
2. Hadits ‘Aziz, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh 2 atau 3 orang dalam tingkatan itu
3. Hadits Gharib yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang saja
Khabar ahad jika ditinjau dari segi kwalitasnya, yakni sifat-sifat orang-orang yang meriwayatkannya, maka terbagi tiga :
1. Hadits shahih, yaitu hadits yang mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:
a. Sanadnya tidak terputus-putus
b. Orang yang meriwayatkan bersifat adil, sempurna ingatannya dan catatannya, tidak suka berbuat ganjil dari orang banyak.
c. Tidak bercacat orangnya dan isi haditsnya dengan cacat yang membahayakan
d. Keadaannya tidak dibenci dan ditolak oleh ahli-ahli hadits
2.
Hadits hasan, yaitu hadits yang memenuhi syarat hadits shahih tetapi
orang yang meriwayatkan kurang kuat ingatannya. Disini boleh diterima
sekalipun tingkatan hafalannya agak kurang sempurna, asal tidak
berpenyakit yang membahayakan dan tidak berbuat ganjil.
3.
Hadits dha’if, yaitu hadits yang tidak lengkap syaratnya yakni tidak
memenuhi syarat yang terdapat dalam hadits shahih dan hadits hasan.
SUNNAH FI’LIYAHSunnah fi’liyah terbagi sebagai berikut :
(1)
Pekerjaan Nabi saw. yang bersifat gerakan jiwa, gerakan hati, gerakan
tubuh, seperti: bernafas, duduk, berjalan, dsb. Perbuatan semacam ini
tidak bersangkut paut dengan soal hukum dan tidak ada hubungannya dengan
suruhan, larangan atau tauladan.
(2)
Perbuatan Nabi saw yang bersifat kebiasaan, seperti cara-cara makan,
tidur, dsb. Perbuatan semacam inipun tidak ada hubungannya dengan
perintah, larangan atau tauladan; kecuali kalau ada perintah anjuran
Nabi untuk mengikuti cara-cara itu.
(3)
Perbuatan Nabi saw. yang khusus untuk beliau sendiri seperti
menyambung puasa dengan tidak berbuka dan beristeri lebih dari empat.
Dalam hal ini orang lain tidak boleh mengikutinya
(4)
Pekerjaan yang bersifat menjelaskan hukum yang mujmal, seperti
shalatnya, hajjinya. Hukum perbuatan tersebut sama dengan hukum apa yang
dijelaskan, baik wajib maupun mandubnya, sebagaimana penjelasan
tentang cara shalat dan haji.
(5) Pekerjaan yang menunjukkan kebolehan saja.
SUNNAH TAQRIRIYAH
Ialah
berdiam diri Nabi saw. diketika melihat suatu perbuatan para sahabat,
baik mereka kerjakan dihadapannya atau bukan dan sampai berita
kepadanya. Maka perkataan atau perbuatan yang didiamkan itu sama saja
dengan perkataan dan perbuatan Nabi sendiri, yaitu dapat menjadi hujjah
bagi umat seluruhnya.
Syarat
sahnya taqrir ialah orang yang dibiarkannya itu benar-benar orang yang
tunduk kepada syara’, bukan orang kafir atau munafik.
SUNNAH HAMMIYAH
Ialah
sesuatu yang dikehendaki Nabi (diingini) tetapi belum jadi dikerjakan,
misalnya beliau ingin melakukan puasa pada tanggal 9 Muharram, tetapi
belum dilakukan beliau telah wafat. Walaupun keinginan itu belum
terlaksana, namun sebagian besar para Ulama menganggap sunnah berpuasa
pada tanggal 9 Muharram itu.
1.b.vi. Usaha Seleksi hadits
Pembagian hadits atas dasar kualitasnya :
a. Maqbul (dapat diterima sebagai pedoman) yang mencakup hadits shahih dan hadits hasan.
b. Mardud (tidak dapat diterima sebagai pedoman) yang mencakup hadits dha’if/lemah dan maudhu’/palsu
Usaha seleksi diarahkan kepada tiga unsur hadits :a. Matan (materi hadits)
Suatu
materi hadits dapat dinilai baik apabila materi hadits itu tidak
bertentangan dengan al-Qur’an atau hadits lain yang lebih kuat, tidak
bertentangan dengan realita, tidak bertentangan dengan fakta sejarah,
tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam.
b. Sanad (persambungan antara pembawa dan penerima hadits)
Suatu
persambungan hadits dapat dinilai sebagai baik, apabila antara pembawa
dan penerima hadits benar-benar bertemu bahkan dalam batas-batas
tertentu berguru. Tidak boleh ada orang lain yang berperan dalam
membawakan hadits tapi tidak nampak dalam susunan pembawa hadits.
Apabila
ada satu kaitan yang diragukan antara pembawa dan penerima hadits,
maka hadits itu tidak dapat dimasukkan dalam kriteria hadits yang
maqbul.
c. Rawi (orang-orang yang membawakan hadits)
Seorang yang dapat diterima haditsnya ialah yang memenuhi syarat-syarat :
i. ‘Adil yaitu orang Islam yang baligh dan jujur, tidak pernah berdusta dan tidak membiasakan dosa
ii. Hafizh, yaitu kuat hafalannya atau mempunyai catatan pribadi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan
kriteria-kriteria seleksi tersebut, maka jumhur (mayoritas) ulama
berpendirian bahwa kitab Ash-Shahih Bukhari dan kitab Ash Shahih Imam
Muslim dapat dijamin keshahihannya ditinjau dari segi sanad dan rawi.
Beberapa langkah praktis dalam usaha seleksi hadits, apakah sesuatu hadits itu maqbul atau tidak adalah :
1. Perhatikan matannya sesuai dengan norma di atas
2. Perhatikan kitab pengambilannya.
Apabila matannya baik diriwayatkan oleh Bukhari atau Muslim, maka dapat dinilai hadits itu shahih atau paling rendah hasan.
Suatu hadits dapat dikatakan shahih apabila ujung hadits itu oleh para ulama diberi kata-kata :a. Diriwayatkan/dikeluarkan oleh jama’ah
b. Diriwayatkan/dikeluarkan oleh Imam 7
c. Diriwayatkan/dikeluarkan oleh Imam 6
d. Diriwayatkan/dikeluarkan oleh dua syaikh (Bukhari & Muslim)
e. Disepakati oleh Bukhari dan Muslim (Muttafaqun ‘alaihi)
f. Diriwayatkan oleh Bukhari saja atau oleh Muslim saja
g. Diriwayatkan oleh ………. Dan disyahkan oleh Bukhari atau Muslim, Bukhari dan Muslim
h. Diriwayatkan oleh ………. Dengan syarat Bukhari atau Muslim
3.
Apabila sesuatu hadits sudah baik materinya tetapi tidak termasuk
dalam persyaratan point2 di atas maka hendaknya diperhatikan
komentar-komentar ulama terhadap hadits itu seperti :
Komentar baik : Hadits mutawatir, quwat, hadits shahih, hadits jayyid, hadits baik, hadits pilihan, dsb
Komentar jelek : Hadits putus, hadits lemah, hadits ada illatnya, mauquf, maqthu, mudallas, munkar, munqathi, muallak, dsb
Dalam
hal ini kita akan menemukan sesuatu hadits yang mendapat penilaian
berbeda/bertentangan antara seorang ulama dan lainnya. Maka langkah kita
adalah : dahulukan yang mencela sebelum yang memuji. Hal ini apabila
dinilai oleh sama-sama ahli hadits.
4.
Apabila langkah-langkah di atas tidak mungkin ditempuh atau belum
memberikan kepastian tentang keshahihan sesuatu hadits, maka hendaknya
digunakan norma-norma umum seleksi, yaitu menyelidiki langsung tentang
sejarah para rawi dll.
1.b.vii. Tentang Hadits Palsu
Bagaimana sebuah hadis palsu dapat diketahui :
- Pengakuan pembuatnya
- Perawinya dikenal sebagai pembuat hadis palsu
- Isinya bertentangan dengan akal sehat
- Isinya bertentangan dengan dalil lain yang lebih kuat
- Isinya mengobral pahala
- Isinya kultus individu
- Isinya bertentangan dengan fakta sejarah
Motif-motif pembuatan hadis palsu :- Politik
- Zindiq (subversif)
- Fanatisme
- Pertentangan fiqh
- Bermaksud baik tetapi bodoh tentang agama
- Menjilat pemimpin
1.b.viii. Mengenal hadits Qudsi
Perbedaan antara Qur’an dengan hadis Kudsi dan Hadis Nabawi.
Hadis
Nabawi : Menurut istilah pengertian hadis ialah apa saja yang
disandarkan kepada Nabi saw. baik berupa perkataan, perbuatan,
persetujuan atau sifat.
Hadis Kudsi : Ialah hadis yang oleh
Nabi saw. disandarkan kepada Allah. Maksudnya Nabi meriwayatkannya
bahwa itu adalah kalam Allah. Maka Rasul menjadi perawi kalam Allah ini
dengan lafal dari Nabi sendiri.
Perbedaan Qur’an dengan Hadis Kudsi
1.
Al-Qur’anul Karim adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Rasullah
dengan lafalnya, dan dengan itu pula orang Arab ditantang. Tantangan itu
tetap berlaku, karena Qur’an adalah mukjizat yang abadi hingga hari
kiamat. Sedang hadis kudsi tidak untuk menantang dan tidak pula untuk
mukjizat.
2.
Al-Qur’anul Karim hanya dinisbahkan kepada Allah. Sedang hadis kudsi
terkadang diriwayatkan dengan disandarkan kepada Allah. Dan terkadang
pula diriwayatkan dengan disandarkan kepada Rasulullah saw. tetapi
nisbahnya adalah nisbah kabar, karena Nabi yang menyampaikan hadis itu
dari Allah.
3.
Seluruh isi Qur’an dinukil secara mutawatir, sehingga kepastiannya
sudah mutlak. Sedang hadis-hadis kudsi kebanyakannya adalah khabar ahad,
sehingga kepastiannya masih berupa dugaan. Adakalanya sahih, hasan dan
terkadang pula da’if.
4.
Al-Qur’anul Karim dari Allah, baik lafal maupun maknanya. Maka ia
adalah wahyu, baik dalam lafal ataupun maknanya. Sedang hadis kudsi
maknanya saja yang dari Allah, sedang lafalnya dari Rasulullah saw.
Hadis kudsi ialah wahyu dalam makna tetapi bukan dalam lafal. Oleh sebab
itu, menurut sebagian besar ahli hadis diperbolehkan meriwayatkan
hadis kudsi dengan maknanya saja.
5.
Membaca al-Qur’anul Karim merupakan ibadah; karena itu ia dibaca dalam
salat. (al-Muzzamil [73]:20). Sedang hadis kudsi tidak disuruh
membacanya di dalam salat. Maka membaca hadis kudsi pahalanya secara
umum saja, tidak akan memperoleh pahala yang disebutkan dalam hadis
mengenai membaca Qur’an.
Perbedaan Hadis Kudsi dengan Hadis NabawiHadis nabawi ada dua :
Tauqifi.
Yang bersifat tauqifi, yaitu yang kandungannya diterima oleh
Rasulullah dari wahyu, lalu ia menjelaskan kepada manusia dengan
kata-katanya sendiri.
Taufiqi.
Yang bersifat taufiqi, yaitu yang disimpulkan oleh Rasulullah menurut
pemahamannya terhadap Qur’an, karena ia mempunyai tugas menjelaskan
Qur’an atau menyimpulkannya dengan pertimbangan dan ijtihad. Bagian
kesimpulan yang bersifat ijtihad ini diperkuat oleh wahyu bila ia benar.
Dan bila terdapat kesalahan didalamnya, maka turunlah wahyu yang
membetukannya.
Hadis
nabawi tidak dinamakan hadis kudsi karena kita merasa pasti tentang
hadis kudsi bahwa ia diturunkan maknanya dari Allah karena adanya nas
syara’ yang menisbahkannya kepada Allah, yaitu kata-kata Rasulullah saw.
Hal ini berbeda dengan hadis-hadis nabawi, karena hadis nabawi itu
tidak memuat nas seperti ini.
Disamping
itu masing-masing isinya boleh jadi diberitahukan melalui wahyu namun
mungkin juga disimpulkan melalui ijtihad. Oleh sebab itu, dinamakan
masing-masing dengan nabawi sebagai terminal nama yang pasti. Seandainya
kita mempunyai bukti untuk membe-dakan mana wahyu tauqifi, tentulah
hadis nabawi itu kita namakan pula hadis kudsi.
1.c. Ijtihad
1.c.i. Definisi dan Fungsi Ijtihad
Yaitu
penggunaan akal sekuat mungkin untuk menemukan sesuatu keputusan hukum
tertentu yang tidak ditetapkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah.
Rasulullah
bersabda “Apabila engkau berijtihad dan ijtihadmu betul, maka engkau
mendapatkan dua pahala. Tetapi apabila ijtihadmu salah, maka engkau
hanya mendapatkan satu pahala.”
1.c.ii. Kedudukan IjtihadIjtihad terikat dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
a. Yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan yang mutlak absolut.
b.
Sesuatu keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin berlaku bagi
seseorang tapi tidak berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk satu
masa/tempat tapi tidak berlaku pada masa/tempat yang lain
c. Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan ‘ibadah mahdhah.
d. Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an dan as-Sunnah
e.
Dalam proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor
motivasi, akibat, kemaslahatan umum, kemanfaatan bersama dan nilai-nilai
yang menjadi ciri dan jiwa daripada ajaran Islam.
1.c.iii. Cara Berijtihad
a.
Qiyas. Yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu hal yang tidak
diterangkan oleh Al-Qur’an dan as-Sunnah dengan dianalogikan kepada
hukum sesuatu yang sudah diterangkan hukumnya oleh Al-Qur’an/as-Sunnah
karena ada sebab yang sama.
b. Ijma’ = consensus = ijtihad kolektif. Yaitu kesepakatan ulama-ulama Islam dalam menentukan sesuatu masalah ijtihadiyah.
c.
Istihsan. Yaitu menetapkan suatu hukum terhadap sesuatu persoalan
ijtihadiyah atas dasar prinsip-prinsip umum ajaran Islam seperti
keadilan, kasih saying dll.Apabila kita dihadapkan dengan keharusan
memilih salah satu di antara dua persoalan yang sama-sama jelek maka
kita harus mengambil yang lebih ringan kejelekannya. Dasar istihsan
antara lain surat az-Zumar 18.
d.
Mashalihul mursalah, yaitu menetapkan hukum terhadap sesuatu persoalan
ijtihadiyah atas pertimbangan kegunaan dan kemanfaatan yang sesuai
dengan tujuan syari’at.
e. Al-Urf. Yaitu berdasarkan adat/kebiasaan
f. Al-Ishtihab. Yaitu menetapkan sesuatu sampai dengan ada dalilnya. Segala sesuatu status awalnya boleh
g. Dalil orang sebelum kita. Yaitu khusus untuk hukum yang masih berlaku
h. Madzhab sahabat
_______________________________
Referensi’
Drs. Miftah Faridl : Pokok-pokok Ajaran Islam
Manna Khalil al Qattan : Studi Ilmu-ilmu Qur’an
Moh. Rifa’i : Sumber-sumber Hukum Islam